AGAMA BUDDHA DI KOREA
Agama primitif dimasa purba yang diketahui dari mitologi kuno,
menganggap langit sebagai Tuhan teragung, yakni sesuatu yang melebihi
segala hal.
Hwanin atau
Hwanung yang muncul dalam mitologi
Dangun
yang merupakan mitologi pendirian Korea, berarti langit atau Tuhan.
Setelah itu, agama bersifat jampi untuk mengejar keberuntungan,
menguasai dunia. Namun, setelah masa 3 kerajaan berkuasa, agama Buddha,
agama Kong Hu Chu dan sebagainya diperkenalkan.
Selain itu,
Shamanisme juga berakar mendalam bagi warga
Korea sebagai kepercayaan rakyat. Seperti contoh, warga Korea pergi ke
peramal atau dukun untuk menghilangkan nasib buruk ketika menghadapi
pilihan penting seperti membuka toko atau ingin sekolah atau untuk
mendapat keberuntungan dan mencegah penyakit.
Shamanisme seperti itu terdapat baik di kampung maupun di kota.
Agama Kong Hu Chu di Korea bisa disebut bukan agama, melainkan
sesuatu yang hanya untuk dilihat dari sisi ilmu, filsafat etika dan
sebagainya. Namun, bisa dikatakan bahwa seluruh warga Korea memiliki
cara berpikir dan bersifat seperti agama Kong Hu Chu. Agama Cheondo,
Agama Daejonggyo dan sebagainya, merupakan agama nasional yang memuja
pendiri Korea, yaitu Dangun.
- A. Awal Sejarah dan Masa Perkembangannya
Jauh sebelum agama Buddha mengalami kemunduran di India, agama
tersebut telah tersebar kebeberapa negara disekitar India, baik karena
usaha golongan Theravada maupun golongan Mahayana. Ketika agama Buddha
mulai berkurang peranannya di India, ia justru berkembang lebih baik di
negara-negara yang pernah menerima penyebaran ajaran agama tersebut,
dengan membentuk pusat-pusat kegiatan baru hingga sekarang.
Di India agama Buddha berkembang pesat pada masa Raja Asyoka (3
SM), hingga menyebar ke Srilanka, Cina, Korea, Jepang, Thailand,
Kamboja dan Indonesia.
Agama Buddha yang masuk ke Korea berasal dari Cina, dengan aliran
Mahayana. Berbeda dengan agama Buddha
Hinayana yang mengejar kebenaran pribadi dan kebebasan dari nafsu duniawi, agama Buddha di Korea bersifat agama Buddha
Mahayana untuk menyelamatkan masyarakat awam.
Peranan Korea pada sejarah agama Buddha terletak pada kedudukannya
sebagai jembatan penyebrangan agama Buddha dari Cina ke Jepang. Meskipun
agama Buddha di semenanjung Korea diterima oleh kerajaan-kerajaan
setempat, namun sejarah tidak mencatat kemajuan dari ajaran agama
Buddha.
Agama Buddha diperkenalkan di Korea pada tahun 372 M, pada periode
pemerintahan Kerajaan Goguryeo oleh seorang biarawan bernama Sundo yang
berasal dari Dinasti Qian Qin di Cina.
Zaman keemasan agama Buddha di Korea terjadi pada masa pemerintahan
dinasti Wang, yakni pada abad ke 11. Di bawah perlindungan kerajaan,
banyak kuil dan vihara dibangun dan jumlah pemeluk agama Buddha
meningkat secara tetap.
Ketika kekuasaan dinasti Wang atas semenanjung Korea diambil alih
oleh dinasti Yuan dari kerajaan Mongol, maka agama Buddha di Korea
banyak dipengaruhi oleh
Lamaisme yang berasal dari Tibet.
Setelah dinasti Yuan dikalahkan oleh dinasti Rhee dari Chosun, maka
diansti ini menerima ajaran Khong Hu Chu dan membenamkan ajaran agama
Buddha.
Pada masa dinasti Chosun, agama Kong Hu Chu didorong berkembang,
sedangkan agama Buddha ditahankan. Di masa akhir kerajaan Chosun, masuk
agama Kristen, serta agama Chondo yang didirikan oleh Choi Che Wu di
Korea pada tahun 1859, dan yang terakhir agama Jengsan yang didirikan
oleh Kang Ii Sun pada tahun 1902.
Setelah abad 11, agama Buddha yang semula hanya dipeluk oleh para
aristrocat dari dinasti Silla kemudian diterima oleh masyarakat umum
berkat usaha-usaha yang dilakukan bhiksu-bhiksu Yi Tien, P’u Chao, dan
lain-lain.
Bhiksu Yi Tien terkenal dengan editing katalog kitab Tripitaka Cina,
setelah belajar agama Buddha di Cina dan menyebarkan pandangan aliran
Houa Yen dan Tien Tai di Korea. Bhiksu Yi Tien juga menulis beberapa
naskah agama Buddha dalam bahasa Korea. Sedangkan bhiksu P’u Chao
memperkenalkan ajaran Zen di Korea. Ajaran Zen ini dalam sejarah Korea
mencatat peranan penting.
Ketika Yi Seong Gye, pendiri dinasti Joseon, mengadakan pemberontakan
dan memproklamirkan dirinya sebagai raja pada tahun 1392, ia mencoba
menghapus seluruh pengaruh agama Buddha dari pemerintahan serta
mengadopsi Konfusianisme sebagai pedoman pengelolaan negara dan
moralitas. Sepanjang lima abad pemerintahan Dinasti Joseon, segala upaya
untuk menghidupkan kembali agama Buddha mendapat perlawanan keras dari
para cendekiawan dan pejabat Konfusian. Pada tahun 1910 M, Jepang
mengambil alih pemerintahan Joseon secara paksa sebagai penjajah, Jepang
melakukan upaya-upaya untuk mengasimilasi kepercayaan local dengan
agama Buddha. Namunupaya-upaya ini gagal dan bahkan berakibat pada
bangkitnya minat akan agama Buddha pribumi di antara rakyat Korea.
Meski sering terjadi pergantian penguasa di Korea, akan tetapi ke
eksistensian agama Buddha masih tetap terjaga, hal ini karena penduduk
Korea sudah banyak yang memeluk agama Buddha, dan menjadi agama turun
temurun.
- B. Agama Buddha di Korea Zaman Modern
Kebudayaan yang mereka kembangkan dengan Buddhisme telah membuat
kebudayaan Tiga Kerajaan berkembang pesat. Terutama di Silla dan
Pakche. Agama Buddha menjadi pondasi spiritual sehingga banyak yang
dibangun.
Seni Buddhisme pun berkembang pesat dan banyak patung Buddha yang
dibuat. Dengan meningkatnya pengaruh Buddhisme, hubungan Korea dengan
negara lain pun berkembang. Kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi
yang diimpor dari Cina, India dan berbagai negara ikut memperkaya
kebudayaan Korea. Pada masa Tiga Kerajaan, yang manfaat ilmunya
dirasakan oleh masyarakat Korea sampi sekarang.
Pada beberapa dekade terakhir ini, telah terjadi semacam kebangkitan
kembali yang melibatkan upaya-upaya untuk menyesuaikan ajaran Buddha
dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat modern. Bila
sebagian besar biarawan tinggal di daerah-daerah pegunungan, mendalami
dalam disiplin diri dan meditasi, beberapa biarawan turun ke kota-kota
untuk menyebarkan ajaran agama mereka. Terdapat sejumlah besar biarawan
yang mengadakan penelitian-penelitian mengenai agama baik di dalam
maupun di luar Korea.
Berbeda dengan agama Buddha
Hinayana yang mengejar kebenaran pribadi dan kebebasan dari nafsu duniawi, agama Buddha di Korea bersifat agama Buddha
Mahayana untuk menyelamatkan masyarakat awam.
Agama Buddha di zaman Korea modern menganut sekte Buddha Zen dengan mempercayai
Buddha Amitabha atau
Bodhisatva Maitreya.
Sekte
Zen jelas sekali telah mengalami perkembangan dengan
banyaknya warga negara asing yang mengikuti jejak biarawan-biarawan
Korea yang dipuja-puja melalui latihan di Kuil Songgwangsa di Provinsi
Jeollanam-do dan pusat-pusat aliran Zen di Seoul dan kota-kota propinsi.
Hingga sampai saat ini agama Buddha di Korea masih tetap hidup dan
para pemeluknya semakin bertambah. Agama Buddha di jadikan agama negara
oleh pemerintah Korea, dan di lindungi dari diskriminasi-diskriminasi
oleh pihak-pihak yang tidak suka dengan agama Buddha.
Meskipun agama Buddha merupakan agama asing, namun agama Buddha
berkembang bersama dengan budaya tradisional dan agama kepercayaan
masyarakat Korea. Agama Buddha ditetapkan sebagai agama negara di masa
pemerintahan kerajaan Silla, dan kerajaan Koryo, tapi penetapan itu
tidak pernah berubah hingga sekarang.
Di masa modern agama Buddha dan agama Kristen mapan sebagai agama utama, sedangkan agama
Daejonggyo, agama
Dangun dan sebagainya sebagai agama minor, serta
Shamanisme masih berakar bagi masyarakat awam.
Di masa kini agama Buddha adalah agama terbesar di Korea dengan dianut lebih dari 40% pemeluk agama di masyarakat Korea.
BAB III
AGAMA BUDDHA DI JEPANG
Sebelum agama Konfusius dan agama Buddha memasuki Jepang, keadaan
agama Jepang belum terorganisasi dan hanya merupakan kumpulan tanpa nama
dari berbagai pemujaan alam, arwah nenek moyang, dan
shamanisme.
Kehidupan social masyarakat Jepang saat itu tergambar dalam istilah
matsurigoto,
Hampir-hampir tidak ada pemisah antara agama dan Negara. Semua gejala
alam dianggap mempunyai sifat animis dan dalam setiap benda dianggap
mempunyai roh (spirit). Tiap-tiap suku mempunyai dewa tersendiri yang
kadang-kadang dianggap sebagai nenek moyangnya. Kepala suku bukan saja
bertindak sebagai pimpinan politik, tetapi juga sebagai pendeta yang
tinggi.
Sungguhpun pengaruh dan peranan agama Buddha di Jepang demikian kuat,
namun agama asli tidak musnah. Di Jepang agama Buddha mula-mula hanya
menjadi agama golongan elite, karena untuk memahami ajaran-ajaran
filsafatnya yang ruwet dan rumit diperlukan kepandaian yang tidak
sedikit. Di samping itu agama tersebut mula-mula mempergunakan
bentuk-bentuk bangunan, tradisi, upacara keagamaan dan bahasa model
Cina. Oleh karena itu agama Buddha hanya pelan-pelan saja menerobos ke
dalam lingkungan rakyat Jepang.
Penerapan ajaran agama Buddha dari Cina oleh Jepang banyak yang
mencari latar belakangnya pada karakter kebudayaan Cina, di mana agama
Buddha di terima oleh keluarga kaum aristrocrat. Golongan aristrocrat di
Jepang pada waktu itu adalah kaum intelektual.
- A. Awal Masa Sejarah dan Perkembangannya
Seorang kaisar Jepang yang pertama kali dan sebagai kepala suku
Yamato
yang pertama yaitu Jimmu Tenno, sepakat untuk memeluk agama Shinto yang
pada saat itu merupakan agama baru dimasa itu. Simbol-simbol
tradisional kekuasaan para penguasa suku Yamato terdiri dari tiga macam
benda yaitu cermin, permata, dan pedang. Ketiga benda tersebut menjadi
simbol kekuasaan yang diberikan oleh Amaterasu kepada cucunya, yaitu
Ninigi No Mikoto. Benda-benda tersebut melambangkan matahari, bulan, dan
kilat.
Pada saat Jepang yang sudah merupakan sebuah Negara bermaksud untuk
membentuk sebuah persekutuan dengan korea. Antara abad ke 3 dan ke 6,
Jepang mulai menerima berbagai pengaruh dari luar melalui hubungan
dengan Korea. Pada tahun 405 M, seorang sarjana bangsa Korea yang
bernama Wani memperkenalkan ajaran-ajaran etika agama Konfusius.
Berbagai paham
dualisme agama Tao juga dimasukkan ke Jepang.
Akan tetapi semua unsur luar yang masuk ke Jepang masa periode ini
tidak ada satupun yang dibawa atas nama agama. Hubungan dengan Korea dan
Cina melalui ekspedisi-ekspedisi kecil juga membawa Jepang berhubungan
dengan agama Buddha. Maka sejak saat itu penyiar dan sarjana agama
Buddha dari Korea dan Cina berdatangan memasuki Jepang. Mereka membawa
serta kebudayaan asing yang lebih tinggi dari kebudayaan asli.
Agama Buddha masuk ke Jepang pada tahun 853 atau abad ke-4 M.
Kerajaan korea mengirimkan delegasi kepada kaisar Kimmeo Tenno di
Jepang. Di samping membawa sebuah hadiah, delegasi tersebut juga meminta
agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha.
Sebenarnya dikalangan para pemimpin dan rakyat umum ada yang
menentang terhadap masuknya agama Buddha ini. Mereka tidak setuju jika
kaisar memeluk agama tersebut, sebab khawatir hal itu akan menyebabkan
timbulnya kemurkaan dari para dewa. Akan tetapi kalangan orang-orang
Jepang yang berfikiran liberal merasa tertarik oleh kelebihan agama baru
itu dibandingkan dengan agama bangsa sendiri. Perbedaan ini menimbulkan
konflik yang berkepanjangan, yang pada akhirnya dimenangkan oleh pihak
liberal.
Suku soga menerima agama ini, tetapi suku-suku lainnya menolak karena dianggap menghina kepercayaan terutama para dewa mereka.
Tokoh utama dalam penyebaran agama Buddha di Jepang adalah pangeran
Shotoku Taishi (547-621 M). Ia juga menetapkan agama Buddha sebagai
agama Negara, menerjemahkan kitab suci Sadharma
Pindarika, Vimalakirti, dan
Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang.
Pangeran Shotoku juga merupakan orang Jepang yang pertama yang
bersungguh-sungguh memahami pemikiran agama Buddha dan memeluk agama
tersebut dengan penuh kepercayaan. Unsur terpenting yang dibawa agama
Buddha ke Jepang adalah prinsip transenden dan pembelakangan dunia.
Karena itu pangeran Shotoku mengemukakan bahwa “dunia adalah palsu;
kebenaran hanyalah Buddha sendiri”. Kemudian dia juga membuat
undang-undang yang terkenal dengan sebutan Undang-Undang 17 Pasal.
Meskipun konsep-konsep moral yang terdapat dalam undang-undang itu
banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Konfusius, namun dasar utamanya
adalah pengajaran agama Buddha.
Pasal ke 2 petunjuk-petunjuk moral yang dikeluarkan oleh pangeran
Shotoku menyebutkan antara lain: “Menghormati dengan tulus ikhlas
terhadap tiga hal yang utama, yaitu Buddha, Undang-undang, dan Tempat
Peribadatan. Karena ini semua objek kepercayaan yang terpenting
diseluruh negeri”.
Pada masa pangeran Shotoku berkuasa, agama Buddha menguasai kehidupan
agama di kalangan istana. Dan pada tahun 604 M sudah menjadi agama
negara. Pada tahun 607 M, di Horyuji didirikan kelenteng agama Buddha
yang pertama di Jepang. Kelenteng tersebut kemudian menjadi pusat tempat
studi orang-orang Buddha.
Pada periode selanjutnya, yaitu pada masa pemerintahan Asuka
(592-628) banyak diantara golongan masyarakat yang terpandang yang
memeluk agama Buddha dan saling berlomba-lomba dalam mendirikan
kelenteng-kelenteng. Ia juga mengirimkan pelajar-pelajar Jepang ke Korea
dan Cina untuk mempelajari agama Buddha, seni dan ilmu pengetahuan.
Setelah masa pemerintahan Asuka berakhir, maka periode selanjutnya
digantikan oleh pemerintahan Nara (710-7840). Dalam masa pemerintahan
Nara, agama Buddha mengalami perkembangan pesat, karena banyak suku-suku
yang berpengaruh dan bangsawan-bangsawan terpandang memeluk agama
Buddha. Pengaruhnya terhadap tata administrasi pemerintahan juga cukup
besar. Di samping itu para penguasa juga menganggap bahwa agama Buddha
dapat dijadikan sebagai sarana yang paling tepat untuk mencapai
kesejahtraan hidup bangsa.
Oleh karena itu pemerintah memberikan bantuan terhadap agama Buddha,
sedemikian besar perhatian pemerintah terhadap agama Buddha, sehingga
pada tahun 655 M dikeluarkan sebuah ketetapan pemerintah yang
mengharuskan kepada setiap keluarga Jepang untuk mendirikan
bustudan. Periode Nara juga ditandai dengan munculnya beberapa sekte dalam agama Buddha di Jepang, yaitu:
- Shingon
- 2. Hosso Tergolong dalam sekte Mahayana
- Kegon
- Jojitsu
- Kusha Tergolong dalam sekte Theravada
- Ritsu
Sekte Kegon (
Huan Yen) memberikan ideologi Buddhis baru
bagi negara. Sekte Kegon adalah sekte yang mempunyai pandangan dan
kepercayaan bahwa semua yang ada di dalam ini dapat berhubungan erat
dengan kosmik yang berwujud di dalam tubuh Sang Buddha. Pandangan dan
kepercayaan ini didasarkan pada
Avatamsamkasutra.
Sekte
Ritsu terutama lebih menitik beratkan pada displin pendidikan dan pemikiran
vinaya
serta semata-mata merupakan alternatif akademik. Pada saat penyelamat
alam yang ideal yang diperkenalkan adalah apa yang diajarkan
Lotsu Sutra dan penekannya pada peranan umat seperti termaktub dalam
Vimalakitri Sutra. Dengan adanya cara penyelamatan yang ideal ini jelas bahwa raja dan rohaniawan juga ikut campur dan aktif di dalam politik.
Walaupun sekte
Hasso telah mengajarkan bahwa ada beberapa
yang tidak bisa diselamatkan akan tetapi sekte ini menekankan adanya
perlindungan dan penyelamatan alam. Agama Buddha yang berkarakter asli
budaya Jepang terus berlangsung dan dapat didengar, baik dalam
pendidikan dan pemikirannya pada masa Huan. Komplek vihara Tendai di
atas pegunungan
Hie dikenal sebagai cikal bakal dari agama Buddha di dalam menyelamatkan keamanan negara.
Sekte Shingon adalah satu bentuk dari Tantra yang diperkenalkan
kepada Jepang oleh bhiksu Kukai di awal abad ke 9. Agama Buddha Shingon
menentukan penyatuan para pemeluknya dengan Buddha dalam berbagai macam
bentuknya, upacara maupun meditasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, sekte Buddhis
Ritsu dan
Shingon
bercampur baur dengan agama Shinto dan dewa-dewa dalam agama Buddha,
maka terjadilah persekutuan pemujaan. Sehingga terjadi asimilasi
kepercayaan antara agama Buddha dengan agama Shinto.
Di antara keenam sekte itu, tiga diantaranya masih hidup sampai sekarang. Yaitu sekte
Hosso dengan pusatnya di kelenteng
Kofukuji dan
Yakushiji; sekte
Kegon dengan pusat di kelenteng
Todaiji; sekte
Ristu yang berpusat di kelenteng
Toshodaiji.
Pada periode berikutnya, yaitu ketika masa kekuasaan dinasti Heian
(794-1185 M), muncul usaha-usaha untuk memadukan kepercayaan dan tradisi
asli Jepang dengan agama Buddha. Antara lain melalui ajaran:
- Saicho
Ajaran ini yang kemudian dikenal dengan sebutan
Dengyo Daishi. Mengajarkan bahwa sebenarnya dewa-dewa agama Buddha adalah sama dengan dewa-dewa agama Shinto, yang disebut
Kami.
- Kukai
Ajaran ini yang kemudian juga dikenal dengan sebutan
Kobo Daishi.
Mengajarkan bahwa dewa tertinggi dalam agama Shinto adalah sama dengan
dewa tertinggi dalam agama Buddha sehingga tidak ada perbedaan antara
pemujaan terhadap Buddha dengan pemujaan terhadap agama Shinto.
Memasuki abad ke 13 M, beberapa sekte baru dan merupakan sekte besar
bermunculan di Jepang, karena terjadi gejolak perselisihan dan perebutan
kekuasaan antara para penguasa Negara. Sekte-sekte baru tersebut antara
lain:
- I. Sekte Zen
Sekte ini mempunyai jalur asal dengan ajaran
Boddhidharma
di Cina. Berdirinya sekte Zen bertujuan untuk memindahkan pikiran
Buddha secara langsung ke dalam pikiran para pemeluknya dan mengajarkan
bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitif.
Sekte Zen kemudian terbagi lagi menjadi dua golongan besar, yaitu:
- Soto Zen dengan tokohnya Dogen. Sekte ini banyak dianut
oleh kalangan petani dan bergerak dalam kegiatan social, memiliki
perguruan tinggi dan sekolah-sekolah yang cukup banyak.
- Rinzai dengan tokohnya Eisai. Sekte ini berkembang di
kalangan militer dan golongan aristrokat serta menjadi tulang punggung
kelas penguasa dan militer.
- II. Sekte Amida
Sekte ini dikenal juga dengan sebutan Tanah Suci. Sekte
Amida mengemukakan suatu ajaran keselamatan dengan cara mempercayai kepada Buddha secara mutlak dan dengan menyebut
Amida orang akan memperoleh keselamatan.
- III. Sekte Nichiren Sozu
Sekte ini didirikan oleh Nichiren. Mempunyai ajaran yang
bertujuan untuk mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni
yang akan dijadikan dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan menolak
ritualisme dan
sentimentalisme sekte Amida, melawan semua kesalahan, agresif, dan bersifat eksklusif.
Pada masa pemerintahan Tokugawa, yang dikenal sebagai masa kedamaian
di Jepang, agama Buddha dijadikan agama resmi Negara, meskipun pemikiran
keagamaan tidak berkembang sebagimana abad-abad sebelumnya. Pemerintah
juga mengatur kehidupan keagamaan dan menggunakannya untuk memelihara
tata tertib social dan kehidupan spiritual bangsa.
Namun dengan diberlakukan system pemerintahan seperti itu,
menyebabkan rakyat menjadi kurang senang terhadap para penguasa dan
mendorong timbulnya sekte-sekte baru dalam agama asli Jepang yang
berusaha untuk mengembalikan masyarakat Jepang kepada kepercayaan asli
mereka, yaitu agama Shinto.
- B. Agama Buddha di Jepang Zaman Modern
Karena secara geografis terletak pada ujung jalur sutra, Jepang
bisa menyimpan banyak aspek agama Buddha ketika agama ini mulai hilang
dari India dan selanjutnya di Asia Tengah serta Tiongkok.
Buddha
Zen merupakan suatu sekte yang sangat berpengaruh di
negara tersebut. Membicarakan tentang Buddha di Jepang umumnya selalu
merujuk kepada sekte Buddha Zen. Demikian juga halnya dengan budaya yang
sama sekali tidak bisa dipisahkan dari peran Buddha
Zen.
Kuil Buddha di negara ini selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga
berfungsi sebagai tempat wisata. Untuk kuil tertentu yang bernilai
historis tinggi dan banyak dikunjungi oleh wisatawan, setiap pengunjung
dikenakan tiket masuk, dan aturan ini berlaku tanpa perkecualian. Jadi,
baik yang datang untuk tujuan berdoa ataupun tidak sama saja. Wisatawan
yang dimaksud kebanyakan adalah orang Jepang sendiri dan sebagian besar
dari mereka akan menyempatkan diri untuk berdoa. Bangunan kuil di Jepang
umumnya sangat indah dan sebagian besar terbuat sepenuhnya dari kayu
dan sudah berumur ratusan tahun.
Untuk para rahib, mereka diharuskan menjalani meditasi dan berbagai
pantangan yang sangat ketat. Umumnya para rahib Buddha makan hanya dua
kali sehari. Jadi jam makan, tidur dan juga bangun diatur dengan sangat
ketat. Berjalan juga dianggap sebagai bagian dari meditasi atau etika
sehingga cara berjalan pun harus dipelajari, misalnya berjalan dengan
tidak menimbulkan suara berisik.
Walaupun kehidupan masyarakat Jepang sudah sangat modern, banyak
dipengaruhi dari dunia luar, akan tetapi tradisi keagamaan dan budaya
mereka tetap eksis, hal ini karena masyarakt Jepang selalu menjaga
warisan dari para leluhur mereka.