Daftar Bacaan

Tuesday, May 22, 2012

AGAMA BUDDHA di JEPANG dan KOREA

AGAMA BUDDHA DI KOREA
Agama primitif dimasa purba yang diketahui dari mitologi kuno, menganggap langit sebagai Tuhan teragung, yakni sesuatu yang melebihi segala hal. Hwanin atau Hwanung yang muncul dalam mitologi Dangun yang merupakan mitologi pendirian Korea, berarti langit atau Tuhan. Setelah itu, agama bersifat jampi untuk mengejar keberuntungan, menguasai dunia. Namun, setelah masa 3 kerajaan berkuasa, agama Buddha, agama Kong Hu Chu dan sebagainya diperkenalkan.
Selain itu, Shamanisme juga berakar mendalam bagi warga Korea sebagai kepercayaan rakyat. Seperti contoh, warga Korea pergi ke peramal atau dukun untuk menghilangkan nasib buruk ketika menghadapi pilihan penting seperti membuka toko atau ingin sekolah atau untuk mendapat keberuntungan dan mencegah penyakit. Shamanisme seperti itu terdapat baik di kampung maupun di kota.
Agama Kong Hu Chu di Korea bisa disebut bukan agama, melainkan sesuatu yang hanya untuk dilihat dari sisi ilmu, filsafat etika dan sebagainya. Namun, bisa dikatakan bahwa seluruh warga Korea memiliki cara berpikir dan bersifat seperti agama Kong Hu Chu. Agama Cheondo, Agama Daejonggyo dan sebagainya, merupakan agama nasional yang memuja pendiri Korea, yaitu Dangun.
  1. A.    Awal Sejarah dan Masa Perkembangannya
Jauh sebelum agama Buddha mengalami kemunduran di India, agama tersebut telah tersebar kebeberapa negara disekitar India, baik karena usaha golongan Theravada maupun golongan Mahayana. Ketika agama Buddha mulai berkurang peranannya di India, ia justru berkembang lebih baik di negara-negara yang pernah menerima penyebaran ajaran agama tersebut, dengan membentuk pusat-pusat kegiatan baru hingga sekarang.
      Di India agama Buddha berkembang pesat pada masa Raja Asyoka (3 SM), hingga menyebar ke Srilanka, Cina, Korea, Jepang, Thailand, Kamboja dan Indonesia.
Agama Buddha yang masuk ke Korea berasal dari Cina, dengan aliran Mahayana. Berbeda dengan agama Buddha Hinayana yang mengejar kebenaran pribadi dan kebebasan dari nafsu duniawi, agama Buddha di Korea bersifat agama Buddha Mahayana untuk menyelamatkan masyarakat awam.
Peranan Korea pada sejarah agama Buddha terletak pada kedudukannya sebagai jembatan penyebrangan agama Buddha dari Cina ke Jepang. Meskipun agama Buddha di semenanjung Korea diterima oleh kerajaan-kerajaan setempat, namun sejarah tidak mencatat kemajuan dari ajaran agama Buddha.
Agama Buddha diperkenalkan di Korea pada tahun 372  M, pada periode pemerintahan Kerajaan Goguryeo oleh seorang biarawan bernama Sundo yang berasal dari Dinasti Qian Qin di Cina.
Zaman keemasan agama Buddha di Korea terjadi pada masa pemerintahan dinasti Wang, yakni pada abad ke 11. Di bawah perlindungan kerajaan, banyak kuil dan vihara dibangun dan jumlah pemeluk agama Buddha meningkat secara tetap.
Ketika kekuasaan dinasti Wang atas semenanjung Korea diambil alih oleh dinasti Yuan dari kerajaan Mongol, maka agama Buddha di Korea banyak dipengaruhi oleh Lamaisme yang berasal dari Tibet. Setelah dinasti Yuan dikalahkan oleh dinasti Rhee dari Chosun, maka diansti ini menerima ajaran Khong Hu Chu dan membenamkan ajaran agama Buddha.
Pada masa dinasti Chosun, agama Kong Hu Chu didorong berkembang, sedangkan agama Buddha ditahankan. Di masa akhir kerajaan Chosun, masuk agama Kristen, serta agama Chondo yang didirikan oleh Choi Che Wu di Korea pada tahun 1859, dan yang terakhir agama Jengsan yang didirikan oleh Kang Ii Sun pada tahun 1902.
Setelah abad 11, agama Buddha yang semula hanya dipeluk oleh para aristrocat dari dinasti Silla kemudian diterima oleh masyarakat umum berkat usaha-usaha yang dilakukan bhiksu-bhiksu Yi Tien, P’u Chao, dan lain-lain.
Bhiksu Yi Tien terkenal dengan editing katalog kitab Tripitaka Cina, setelah belajar agama Buddha di Cina dan menyebarkan pandangan  aliran Houa Yen dan Tien Tai di Korea. Bhiksu Yi Tien juga menulis beberapa naskah agama Buddha dalam bahasa Korea. Sedangkan bhiksu P’u Chao memperkenalkan ajaran Zen di Korea. Ajaran Zen ini dalam sejarah Korea mencatat peranan penting.
Ketika Yi Seong Gye, pendiri dinasti Joseon, mengadakan pemberontakan dan memproklamirkan dirinya sebagai raja pada tahun 1392, ia mencoba menghapus seluruh pengaruh agama Buddha dari pemerintahan serta mengadopsi Konfusianisme sebagai pedoman pengelolaan negara dan moralitas. Sepanjang lima abad pemerintahan Dinasti Joseon, segala upaya untuk menghidupkan kembali agama Buddha mendapat perlawanan keras dari para cendekiawan dan pejabat Konfusian. Pada tahun 1910 M, Jepang mengambil alih pemerintahan Joseon secara paksa sebagai penjajah, Jepang melakukan upaya-upaya untuk mengasimilasi kepercayaan local dengan agama Buddha. Namunupaya-upaya ini gagal dan bahkan berakibat pada bangkitnya minat akan agama Buddha pribumi di antara rakyat Korea.
Meski sering terjadi pergantian penguasa di Korea, akan tetapi ke eksistensian agama Buddha masih tetap terjaga, hal ini karena penduduk Korea sudah banyak yang memeluk agama Buddha, dan menjadi agama turun temurun.
  1. B.     Agama Buddha di Korea Zaman Modern
Kebudayaan yang mereka kembangkan dengan Buddhisme telah membuat kebudayaan Tiga Kerajaan berkembang pesat. Terutama di Silla dan Pakche. Agama Buddha menjadi pondasi spiritual sehingga banyak  yang dibangun.
Seni Buddhisme pun berkembang pesat dan banyak patung Buddha yang dibuat.  Dengan meningkatnya pengaruh Buddhisme, hubungan Korea dengan negara lain pun berkembang. Kesenian, ilmu pengetahuan dan teknologi yang diimpor dari Cina, India dan berbagai negara ikut memperkaya kebudayaan Korea.  Pada masa Tiga Kerajaan, yang manfaat ilmunya dirasakan oleh masyarakat Korea sampi sekarang.
Pada beberapa dekade terakhir ini, telah terjadi semacam kebangkitan kembali yang melibatkan upaya-upaya untuk menyesuaikan ajaran Buddha dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat modern. Bila sebagian besar  biarawan tinggal di daerah-daerah pegunungan, mendalami dalam disiplin diri dan meditasi, beberapa biarawan turun ke kota-kota untuk menyebarkan ajaran agama mereka. Terdapat sejumlah besar biarawan yang mengadakan penelitian-penelitian mengenai agama baik di dalam maupun di luar Korea.
Berbeda dengan agama Buddha Hinayana yang mengejar kebenaran pribadi dan kebebasan dari nafsu duniawi, agama Buddha di Korea bersifat agama Buddha Mahayana untuk menyelamatkan masyarakat awam.
Agama Buddha di zaman Korea modern menganut sekte Buddha Zen dengan mempercayai Buddha Amitabha atau Bodhisatva Maitreya.
Sekte Zen jelas sekali telah mengalami perkembangan dengan banyaknya warga negara asing yang mengikuti jejak biarawan-biarawan Korea yang dipuja-puja melalui latihan di Kuil Songgwangsa di Provinsi Jeollanam-do dan pusat-pusat aliran Zen di Seoul dan kota-kota propinsi.
Hingga sampai saat ini agama Buddha di Korea masih tetap hidup dan para pemeluknya semakin bertambah. Agama Buddha di jadikan agama negara oleh pemerintah Korea, dan di lindungi dari diskriminasi-diskriminasi oleh pihak-pihak yang tidak suka dengan agama Buddha.
Meskipun agama Buddha merupakan agama asing, namun agama Buddha berkembang bersama dengan budaya tradisional dan agama kepercayaan masyarakat Korea. Agama Buddha ditetapkan sebagai agama negara di masa pemerintahan kerajaan Silla, dan kerajaan Koryo, tapi penetapan itu tidak pernah berubah hingga sekarang.
Di masa modern agama Buddha dan agama Kristen mapan sebagai agama utama, sedangkan agama Daejonggyo, agama Dangun dan sebagainya sebagai agama minor, serta Shamanisme masih berakar bagi masyarakat awam.
Di masa kini agama Buddha adalah agama terbesar di Korea dengan dianut lebih dari 40%  pemeluk agama di masyarakat Korea.

BAB III
AGAMA BUDDHA DI JEPANG
Sebelum agama Konfusius dan agama Buddha memasuki Jepang, keadaan agama Jepang belum terorganisasi dan hanya merupakan kumpulan tanpa nama dari berbagai pemujaan alam, arwah nenek moyang, dan shamanisme.
Kehidupan social masyarakat Jepang saat itu tergambar dalam istilah matsurigoto, Hampir-hampir tidak ada pemisah antara agama dan Negara. Semua gejala alam dianggap mempunyai sifat animis dan dalam setiap benda dianggap mempunyai roh (spirit). Tiap-tiap suku mempunyai dewa tersendiri yang kadang-kadang dianggap sebagai nenek moyangnya. Kepala suku bukan saja bertindak sebagai pimpinan politik, tetapi juga sebagai pendeta yang tinggi.
Sungguhpun pengaruh dan peranan agama Buddha di Jepang demikian kuat, namun agama asli tidak musnah. Di Jepang agama Buddha mula-mula hanya menjadi agama golongan elite, karena untuk memahami ajaran-ajaran filsafatnya yang ruwet dan rumit diperlukan kepandaian yang tidak sedikit. Di samping itu agama tersebut mula-mula mempergunakan bentuk-bentuk bangunan, tradisi, upacara keagamaan dan bahasa model Cina. Oleh karena itu agama Buddha hanya pelan-pelan saja menerobos ke dalam lingkungan rakyat Jepang.
Penerapan ajaran agama Buddha dari Cina oleh Jepang banyak yang mencari latar belakangnya pada karakter kebudayaan Cina, di mana agama Buddha di terima oleh keluarga kaum aristrocrat. Golongan aristrocrat di Jepang pada waktu itu adalah kaum intelektual.
  1. A.    Awal Masa Sejarah dan Perkembangannya
Seorang kaisar Jepang yang pertama kali dan sebagai kepala suku Yamato yang pertama yaitu Jimmu Tenno, sepakat untuk memeluk agama Shinto yang pada saat itu merupakan agama baru dimasa itu. Simbol-simbol tradisional kekuasaan para penguasa suku Yamato terdiri dari tiga macam benda yaitu cermin, permata, dan pedang. Ketiga benda tersebut menjadi simbol kekuasaan yang diberikan oleh Amaterasu kepada cucunya, yaitu Ninigi No Mikoto. Benda-benda tersebut melambangkan matahari, bulan, dan kilat.
Pada saat Jepang yang  sudah merupakan sebuah Negara bermaksud untuk membentuk sebuah persekutuan dengan korea. Antara abad ke 3 dan ke 6, Jepang mulai menerima berbagai pengaruh dari luar melalui hubungan dengan Korea. Pada tahun 405 M, seorang sarjana bangsa Korea yang bernama Wani memperkenalkan ajaran-ajaran etika agama Konfusius. Berbagai paham dualisme agama Tao juga dimasukkan ke Jepang.
Akan tetapi semua unsur luar yang masuk ke Jepang masa periode ini tidak ada satupun yang dibawa atas nama agama. Hubungan dengan Korea dan Cina melalui ekspedisi-ekspedisi kecil juga membawa Jepang berhubungan dengan agama Buddha. Maka sejak saat itu penyiar dan sarjana agama Buddha dari Korea dan Cina berdatangan memasuki Jepang. Mereka membawa serta kebudayaan asing yang lebih tinggi dari kebudayaan asli.
Agama Buddha masuk ke Jepang pada tahun 853 atau abad ke-4 M. Kerajaan korea mengirimkan delegasi kepada kaisar Kimmeo Tenno di Jepang. Di samping membawa sebuah hadiah, delegasi tersebut juga meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama Buddha.
Sebenarnya dikalangan para pemimpin dan rakyat umum ada yang menentang terhadap masuknya agama Buddha ini. Mereka tidak setuju jika kaisar memeluk agama tersebut, sebab khawatir hal itu akan menyebabkan timbulnya kemurkaan dari para dewa. Akan tetapi kalangan orang-orang Jepang yang berfikiran liberal merasa tertarik oleh kelebihan agama baru itu dibandingkan dengan agama bangsa sendiri. Perbedaan ini menimbulkan konflik yang berkepanjangan, yang pada akhirnya dimenangkan oleh pihak liberal.
Suku soga menerima agama ini, tetapi suku-suku lainnya menolak karena dianggap menghina kepercayaan terutama para dewa mereka.
Tokoh utama dalam penyebaran agama Buddha di Jepang adalah pangeran Shotoku Taishi (547-621 M). Ia juga menetapkan agama Buddha sebagai agama Negara, menerjemahkan kitab suci Sadharma Pindarika, Vimalakirti, dan Srimalasutra yang sangat berpengaruh dalam pembentukan filsafat Buddhis di Jepang.
Pangeran Shotoku juga merupakan orang Jepang yang pertama yang bersungguh-sungguh memahami pemikiran agama Buddha dan memeluk agama tersebut dengan penuh kepercayaan. Unsur terpenting yang dibawa agama Buddha ke Jepang adalah prinsip transenden dan pembelakangan dunia. Karena itu pangeran Shotoku mengemukakan bahwa “dunia adalah palsu; kebenaran hanyalah Buddha sendiri”. Kemudian dia juga membuat undang-undang yang terkenal dengan sebutan Undang-Undang 17 Pasal.
Meskipun konsep-konsep moral yang terdapat dalam undang-undang itu banyak dipengaruhi oleh ajaran agama Konfusius, namun dasar utamanya adalah pengajaran agama Buddha.
Pasal ke 2 petunjuk-petunjuk moral yang dikeluarkan oleh pangeran Shotoku menyebutkan antara lain: “Menghormati dengan tulus ikhlas terhadap tiga hal yang utama, yaitu Buddha, Undang-undang, dan Tempat Peribadatan. Karena ini semua objek kepercayaan yang terpenting diseluruh negeri”.
Pada masa pangeran Shotoku berkuasa, agama Buddha menguasai kehidupan agama di kalangan istana. Dan pada tahun 604 M sudah menjadi agama negara. Pada tahun 607 M, di Horyuji didirikan kelenteng agama Buddha yang pertama di Jepang. Kelenteng tersebut kemudian menjadi pusat tempat studi orang-orang Buddha.
Pada periode selanjutnya, yaitu pada masa pemerintahan Asuka (592-628) banyak diantara golongan masyarakat yang terpandang yang memeluk agama Buddha dan saling berlomba-lomba dalam mendirikan kelenteng-kelenteng. Ia juga mengirimkan pelajar-pelajar Jepang ke Korea dan Cina untuk mempelajari agama Buddha, seni dan ilmu pengetahuan.
Setelah masa pemerintahan Asuka berakhir, maka periode selanjutnya digantikan oleh pemerintahan Nara (710-7840). Dalam masa pemerintahan Nara, agama Buddha mengalami perkembangan pesat, karena banyak suku-suku yang berpengaruh dan bangsawan-bangsawan terpandang memeluk agama Buddha. Pengaruhnya terhadap tata administrasi pemerintahan juga cukup besar. Di samping itu para penguasa juga menganggap bahwa agama Buddha dapat dijadikan sebagai sarana yang paling tepat untuk mencapai kesejahtraan hidup bangsa.
Oleh karena itu pemerintah memberikan bantuan terhadap agama Buddha, sedemikian besar perhatian pemerintah terhadap agama Buddha, sehingga pada tahun 655 M dikeluarkan sebuah ketetapan pemerintah yang mengharuskan kepada setiap keluarga Jepang untuk mendirikan bustudan. Periode Nara juga ditandai dengan munculnya beberapa sekte dalam agama Buddha di Jepang, yaitu:
  1. Shingon
  2. 2.      Hosso              Tergolong dalam sekte Mahayana
  3. Kegon
  4. Jojitsu
  5. Kusha              Tergolong dalam sekte Theravada
  6. Ritsu
Sekte Kegon (Huan Yen) memberikan ideologi Buddhis baru bagi negara. Sekte Kegon adalah sekte yang mempunyai pandangan dan kepercayaan bahwa semua yang ada di dalam ini dapat berhubungan erat dengan kosmik yang berwujud di dalam tubuh Sang Buddha. Pandangan dan kepercayaan ini didasarkan pada Avatamsamkasutra.
Sekte Ritsu terutama lebih menitik beratkan pada displin pendidikan dan pemikiran vinaya serta semata-mata merupakan alternatif akademik. Pada saat penyelamat alam yang ideal yang diperkenalkan adalah apa yang diajarkan Lotsu Sutra dan penekannya pada peranan umat seperti termaktub dalam Vimalakitri Sutra. Dengan adanya cara penyelamatan yang ideal ini jelas bahwa raja dan rohaniawan juga ikut campur dan aktif di dalam politik.
Walaupun sekte Hasso telah mengajarkan bahwa ada beberapa yang tidak bisa diselamatkan akan tetapi sekte ini menekankan adanya perlindungan dan penyelamatan alam. Agama Buddha yang berkarakter asli budaya Jepang terus berlangsung dan dapat didengar, baik dalam pendidikan dan pemikirannya pada masa Huan. Komplek vihara Tendai di atas pegunungan Hie dikenal sebagai cikal bakal dari agama Buddha di dalam menyelamatkan keamanan negara.
Sekte Shingon adalah satu bentuk dari Tantra yang diperkenalkan kepada Jepang oleh bhiksu Kukai di awal abad ke 9. Agama Buddha Shingon menentukan penyatuan para pemeluknya dengan Buddha dalam berbagai macam bentuknya, upacara maupun meditasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, sekte Buddhis Ritsu dan Shingon bercampur baur dengan agama Shinto dan dewa-dewa dalam agama Buddha, maka terjadilah persekutuan pemujaan. Sehingga terjadi asimilasi kepercayaan antara agama Buddha dengan agama Shinto.
Di antara keenam sekte itu, tiga diantaranya masih hidup sampai sekarang. Yaitu sekte Hosso dengan pusatnya di kelenteng Kofukuji dan Yakushiji; sekte Kegon dengan pusat di kelenteng Todaiji; sekte Ristu yang berpusat di kelenteng Toshodaiji.
Pada periode berikutnya, yaitu ketika masa kekuasaan dinasti Heian (794-1185 M), muncul usaha-usaha untuk memadukan kepercayaan dan tradisi asli Jepang dengan agama Buddha. Antara lain melalui ajaran:
  1. Saicho
Ajaran ini yang kemudian dikenal dengan sebutan Dengyo Daishi. Mengajarkan bahwa sebenarnya dewa-dewa agama Buddha adalah sama dengan dewa-dewa agama Shinto, yang disebut Kami. 
  1. Kukai
Ajaran ini yang kemudian juga dikenal dengan sebutan Kobo Daishi. Mengajarkan bahwa dewa tertinggi dalam agama Shinto adalah sama dengan dewa tertinggi dalam agama Buddha sehingga tidak ada perbedaan  antara pemujaan terhadap Buddha dengan pemujaan terhadap agama Shinto.
Memasuki abad ke 13 M, beberapa sekte baru dan merupakan sekte besar bermunculan di Jepang, karena terjadi gejolak perselisihan dan perebutan kekuasaan antara para penguasa Negara. Sekte-sekte baru tersebut antara lain:
  1. I.            Sekte Zen
Sekte ini mempunyai jalur asal dengan ajaran Boddhidharma di Cina. Berdirinya sekte Zen bertujuan untuk memindahkan pikiran Buddha secara langsung ke dalam pikiran para pemeluknya dan mengajarkan bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui pemikiran yang intuitif.
Sekte Zen kemudian terbagi lagi menjadi dua golongan besar, yaitu:
  1. Soto Zen dengan tokohnya Dogen. Sekte ini banyak dianut oleh kalangan petani dan bergerak dalam kegiatan social, memiliki perguruan tinggi dan sekolah-sekolah yang cukup banyak.
  2. Rinzai dengan tokohnya Eisai. Sekte ini berkembang di kalangan militer dan golongan aristrokat serta menjadi tulang punggung kelas penguasa dan militer.
  3. II.            Sekte Amida
Sekte ini dikenal juga dengan sebutan Tanah Suci. Sekte Amida mengemukakan suatu ajaran keselamatan  dengan cara mempercayai kepada Buddha secara mutlak dan dengan menyebut Amida orang akan memperoleh keselamatan.
  1. III.            Sekte Nichiren Sozu
Sekte ini didirikan oleh Nichiren. Mempunyai ajaran yang bertujuan untuk mengembalikan agama Buddha kepada bentuknya yang murni yang akan dijadikan dasar bagi perbaikan masyarakat Jepang, dan menolak ritualisme dan sentimentalisme sekte Amida, melawan semua kesalahan, agresif, dan bersifat eksklusif.
Pada masa pemerintahan Tokugawa, yang dikenal sebagai masa kedamaian di Jepang, agama Buddha dijadikan agama resmi Negara, meskipun pemikiran keagamaan tidak berkembang sebagimana abad-abad sebelumnya. Pemerintah juga mengatur kehidupan keagamaan dan menggunakannya untuk memelihara tata tertib social dan kehidupan spiritual bangsa.
Namun dengan diberlakukan system pemerintahan seperti itu, menyebabkan rakyat menjadi kurang  senang terhadap para penguasa dan mendorong timbulnya sekte-sekte baru dalam agama asli Jepang yang berusaha untuk mengembalikan masyarakat Jepang kepada kepercayaan asli mereka, yaitu agama Shinto.
  1. B.     Agama Buddha di Jepang Zaman Modern
Karena secara geografis terletak pada ujung jalur sutra, Jepang bisa menyimpan banyak aspek agama Buddha ketika agama ini mulai hilang dari India dan selanjutnya di Asia Tengah serta Tiongkok.
Buddha Zen merupakan suatu sekte yang sangat berpengaruh di negara tersebut. Membicarakan tentang Buddha di Jepang umumnya selalu merujuk kepada sekte Buddha Zen. Demikian juga halnya dengan budaya yang sama sekali tidak bisa dipisahkan dari peran Buddha Zen.
Kuil Buddha di negara ini selain berfungsi sebagai tempat ibadah juga berfungsi sebagai tempat wisata. Untuk kuil tertentu yang bernilai historis tinggi dan banyak dikunjungi oleh wisatawan, setiap pengunjung dikenakan tiket masuk, dan aturan ini berlaku tanpa perkecualian. Jadi, baik yang datang untuk tujuan berdoa ataupun tidak sama saja. Wisatawan yang dimaksud kebanyakan adalah orang Jepang sendiri dan sebagian besar dari mereka akan menyempatkan diri untuk berdoa. Bangunan kuil di Jepang umumnya sangat indah dan sebagian besar terbuat sepenuhnya dari kayu dan sudah berumur ratusan tahun.
Untuk para rahib, mereka diharuskan menjalani meditasi dan berbagai pantangan yang sangat ketat. Umumnya para rahib Buddha makan hanya dua kali sehari. Jadi jam makan, tidur dan juga bangun diatur dengan sangat ketat. Berjalan juga dianggap sebagai bagian dari meditasi atau etika sehingga cara berjalan pun harus dipelajari, misalnya berjalan dengan tidak menimbulkan suara berisik.
Walaupun kehidupan masyarakat Jepang sudah sangat modern, banyak dipengaruhi dari dunia luar, akan tetapi tradisi keagamaan dan budaya mereka tetap eksis, hal ini karena masyarakt Jepang selalu menjaga warisan dari para leluhur mereka.

1 comment:

  1. Blog yang menarik, mengingatkan saya akan kebudayaan Jepang dengan penghormatan akan Gunung, lautan dan sungai yang semuanya adalah roh ilahi atau dewa (‘kami’ dalam Bahasa Jepang), sebagaimana halnya matahari, bulan dan Bintang Utara.
    Saya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka: di http://stenote-berkata.blogspot.com/2020/07/wawancara-dengan-haruki.html

    ReplyDelete